Senin, 15 September 2008

GANGGUAN PERKEMIHAN PADA LANSIA

PENDAHULUAN

Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terletak retroperitoneal, di kedua sisi kolumna vertebralis daerah lumbal. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ginjal kiri karena tertekan ke bawah oleh hati. Kutub atasnya terletak setinggi kosta 12, sedangkan kutub atas ginjal kiri terletak setinggi kosta 11. Setiap ginjal terdiri dari 600.000 nefron. Nefron terdiri atas glomerulus dengan sebuah kapiler yang berfungsi sebagai filter. Penyaringan terjadi di dalam sel-sel epitelial yang menghubungkan setiap glomerulus.

Ginjal merupakan organ terpenting dari tubuh manusia maka dari itu ginjal mempunyai beberapa fungsi seperti : mengatur keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit dan asam basa dengan cara menyaring darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit dan non elektrolit, serta mengekskresikan kelebihannya sebagai kemih. Ginjal juga mengeluarkan sampah metabolisme (seperti urea, kreatinin, dan asam urat) dan zat kimia asing. Akhirnya selain regulasi dan ekskresi, ginjal juga mensekresi renin yang penting untuk mengatur tekanan darah, juga bentuk aktif vitamin D yaitu penting untuk mengatur kalsium, serta eritropoeitin yang penting untuk sintesis darah.

Kedua ureter merupakan saluran yang panjangnya 25 sampai 30 cm, yang berjalan dari ginjal sampai kandung kemih. Fungsi satu-satunya adalah menyalurkan kemih ke kandung kemih. Kandung kemih adalah salah satu kantong berotot yang dapat mengempis dan berdilatasi, terletak di belakang simpisis pubis. Kandung kemih memiliki 3 muara antara lain dua muara ureter dan satu muara uretra. Dua fungsi kandung kemih adalah sebagai tempat penyimpanan kemih dan mendorong kemih keluar dari tubuh melalui uretra. Uretra adalah saluran kecil yang dapat mengembang, yang berjalan dari kandung kemih sampai keluar tubuh. Panjangnya pada wanita sekitar 4 cm dan pada pria sekitar 20 cm.

PERUBAHAN SISTEM GINJAL PADA LANJUT USIA

Pada lansia ginjal berukuran lebih kecil dibanding dengan ginjal pada usia muda. Pada usia 90 tahun beratnya berkurang 20-30% atau 110-150 gram bersamaan dengan pengurangan ukuran ginjal.

Pada studi kasus dari McLachlan dan Wasserman tentang panjang, luas dan kemampuan untuk berkembang dari ginjal yang mendapat urogram i.v, mereka menemukan bahwa panjang ginjal berkurang 0,5 cm per dekade setelah mencapai usia 50 tahun. Dengan bertambahnya usia, banyak jaringan yang hilang dari korteks ginjal, glomerulus dan tubulus. Jumlah total glomerulus berkurang 30-40% pada usia 80 tahun, dan permukaan glomerulus berkurang secara progresif setelah 40 tahun, dan yang terpenting adalah terjadi penambahan dari jumlah jaringan sklerotik. Meskipun kurang dari 1% glomerulus sklerotik pada usia muda, persentase ini meningkat 10-30% pada usia 80 tahun.

Terdapat beberapa perubahan pada pembuluh darah ginjal pada lansia. Pada korteks ginjal, arteri aferen dan eferen cenderung untuk atrofi yang berarti terjadi pengurangan jumlah darah yang terdapat di glomerulus. Atrofi arteri aferen dan eferen pada jukstaglomerulus terjadi tidak simetris sehingga timbul fistel. Jadi ketika aliran darah di korteks berkurang, aliran di jukstaglomerular akan meningkat. Ini berpengaruh pada konsentrasi urin yang berkurang pada usia lanjut akibat gangguan pengaturan sistem keseimbangan.


A.Perubahan aliran darah ginjal pada lanjut usia

Ginjal menerima sekitar 20% dari aliran darah jantung atau sekitar 1 liter per menit darah dari 40% hematokrit, plasma ginjal mengalir sekitar 600 ml/menit. Normalnya 20% dari plasma disaring di glomerulus dengan GFR 120 ml/menit atau sekitar 170 liter per hari. Penyaringan terjadi di tubular ginjal dengan lebih dari 99% yang terserap kembali meninggalkan pengeluaran urin terakhir 1-1,5 liter per hari.

Dari beberapa penelitian pada lansia yang telah dilakukan, memperlihatkan bahwa setelah usia 20 tahun terjadi penurunan aliran darah ginjal kira-kira 10% per dekade, sehingga aliran darah ginjal pada usia 80 tahun hanya menjadi sekitar 300 ml/menit. Pengurangan dari aliran darah ginjal terutama berasal dari korteks. Pengurangan aliran darah ginjal mungkin sebagai hasil dari kombinasi pengurangan curah jantung dan perubahan dari hilus besar, arcus aorta dan arteri interlobaris yang berhubungan dengan usia.

B.Perubahan fungsi ginjal pada lanjut usia

Pada lansia banyak fungsi hemostasis dari ginjal yang berkurang, sehingga merupakan predisposisi untuk terjadinya gagal ginjal. Ginjal yang sudah tua tetap memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh dan fungsi hemostasis, kecuali bila timbul beberapa penyakit yang dapat merusak ginjal.
Penurunan fungsi ginjal mulai terjadi pada saat seseorang mulai memasuki usia 30 tahun dan 60 tahun, fungsi ginjal menurun sampai 50% yang diakibatkan karena berkurangnya jumlah nefron dan tidak adanya kemampuan untuk regenerasi. Beberapa hal yang berkaitan dengan faal ginjal pada lanjut usia antara lain : (Cox, Jr dkk, 1985)

1.Fungsi konsentrasi dan pengenceran menurun.
2.Keseimbangan elektrolit dan asam basa lebih mudah terganggu bila dibandingkan dengan usia muda.
3.Ureum darah normal karena masukan protein terbatas dan produksi ureum yang menurun. Kreatinin darah normal karena produksi yang menurun serta massa otot yang berkurang. Maka yang paling tepat untuk menilai faal ginjal pada lanjut usia adalah dengan memeriksa Creatinine Clearance.
4.Renal Plasma Flow (RPF) dan Glomerular Filtration Rate (GFR) menurun sejak usia 30 tahun.


C.Perubahan laju filtrasi glomerulus pada lanjut usia
Salah satu indeks fungsi ginjal yang paling penting adalah laju filtrasi glomerulus (GFR). Pada usia lanjut terjadi penurunan GFR. Hal ini dapat disebabkan karena total aliran darah ginjal dan pengurangan dari ukuran dan jumlah glomerulus. Pada beberapa penelitian yang menggunakan bermacam-macam metode, menunjukkan bahwa GFR tetap stabil setelah usia remaja hingga usia 30-35 tahun, kemudian menurun hingga 8-10 ml/menit/1,73 m2/dekade.

Penurunan bersihan kreatinin dengan usia tidak berhubungan dengan peningkatan konsentrasi kreatinin serum. Produksi kreatinin sehari-hari (dari pengeluaran kreatinin di urin) menurun sejalan dengan penurunan bersihan kreatinin.

Untuk menilai GFR/creatinine clearance rumus di bawah ini cukup akurat bila digunakan pada usia lanjut.

Cratinine Clearance (pria) = (140-umur) X BB (kg) ml/menit
72 X serum cretinine (mg/dl)

Cretinine Clearance (wanita) = 0,85 X CC pria


D.Perubahan fungsi tubulus pada lanjut usia
Aliran plasma ginjal yang efektif (terutama tes eksresi PAH) menurun sejalan dari usia 40 ke 90-an. Umumnya filtrasi tetap ada pada usia muda, kemudian berkurang tetapi tidak terlalu banyak pada usia 70, 80 dan 90 tahunan. Transpor maksimal tubulus untuk tes ekskresi PAH (paraaminohipurat) menurun progresif sejalan dengan peningkatan usia dan penurunan GFR.

Penemuan ini mendukung hipotesis untuk menentukan jumlah nefron yang masih berfungsi, misalnya hipotesis yang menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan gangguan pada transpor tubulus, tetapi berhubungan dengan atrofi nefron sehingga kapasitas total untuk transpor menurun.

Transpor glukosa oleh ginjal dievaluasi oleh Miller, Mc Donald dan Shiock pada kelompok usia antara 20-90 tahun. Transpor maksimal Glukosa (TmG) diukur dengan metode clearance. Pengurangan TmG sejalan dengan GFR oleh karena itu rasio GFR : TmG tetap pada beberapa dekade.

Penemuan ini mendukung hipotesis jumlah nefron yang masih berfungsi, kapasitas total untuk transpor menurun sejalan dengan atrofi nefron. Sebaliknya dari penurunan TmG, ambang ginjal untuk glukosa meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Ketidaksesuaian ini tidak dapat dijelaskan tetapi mungkin dapat disebabkan karena kehilangan nefron secara selektif.



E.Perubahan pengaturan keseimbangan air pada lanjut usia

Perubahan fungsi ginjal berhubungan dengan usia, dimana pada peningkatan usia maka pengaturan metabolisme air menjadi terganggu yang sering terjadi pada lanjut usia. Jumlah total air dalam tubuh menurun sejalan dengan peningkatan usia. Penurunan ini lebih berarti pada perempuan daripada laki-laki, prinsipnya adalah penurunan indeks massa tubuh karena terjadi peningkatan jumlah lemak dalam tubuh. Pada lanjut usia, untuk mensekresi sejumlah urin atau kehilangan air dapat meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler dan menyebabkan penurunan volume yang mengakibatkan timbulnya rasa haus subjektif. Pusat-pusat yang mengatur perasaan haus timbul terletak pada daerah yang menghasilkan ADH di hypothalamus.

Pada lanjut usia, respon ginjal pada vasopressin berkurang biladibandingkan dengan usia muda yang menyebabkan konsentrasi urin juga berkurang, Kemampuan ginjal pada kelompok lanjut usia untuk mencairkan dan mengeluarkan kelebihan air tidak dievaluasi secara intensif. Orang dewasa sehat mengeluarkan 80% atau lebih dari air yang diminum (20 ml/kgBB) dalam 5 jam.

PENYAKIT GINJAL DAN TRAKTUS URINARIUS PADA
LANJUT USIA

A. INFEKSI SALURAN KEMIH

Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah istilah umum yang dipakai untuk menyatakan adanya invasi mikroorganisme pada saluran kemih. Prevalensi ISK di masyarakat makin meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Pada usia 40-60 tahun mempunyai angka prevalensi 3,2 %, sedangkan pada usia sama atau di atas 65 tahun kira-kira mempunyai angka prevalensi ISK sebesar 20 %. Infeksi saluran kemih dapat mengenal baik laki-laki maupun wanita dari semua umur, baik anak-anak, remaja, dewasa maupun lanjut usia. Akan tetapi dari kedua jenis kelamin, ternyata wanita lebih sering dari pria dengan angka populasi umum, kurang lebih 5-15%.

Untuk menyatakan adanya ISK harus ditemukan bakteri dalam urin. Bakteriuria yang disertai dengan gejala pada saluran kemih disebut bakteriuria simptomatis. Sedangkan yang tanpa gejala disebut bakteriuria asimptomatis. Dikatakan bakteriuria positif pada pasien asimptomatis bila terdapat lebih dari 105 koloni bakteri dalam sampel urin midstream, sedangkan pada pasien simptomatis bisa terdapat jumlah koloni lebih rendah.

Prevalensi ISK yang tinggi pada usia lanjut antara lain disebabkan karena:
Sisa urin dalam kandung kemih meningkat akibat pengosongan kandung kemih kurang efektif.
Mobilitas menurun.
Pada usia lanjut nutrisi sering kurang baik.
Sistem imunitas menurun, baik seluler maupun humoral.
Adanya hambatan pada aliran urin.
Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat.
Etiologi

ISK pada usia lanjut dipandang dari segi penatalaksanaan sering dibedakan atas: (Russel, B.M., 1989; Tolkoff, Rubu N.E. dan Rubin R.H., 1989).

a.ISK uncomplicated (simple)
ISK yang sederhana yang terjadi pada penderita dengan saluran kencing baik anatomi maupun fungsionil normal. ISK sederhana ini pada usia lanjut terutama mengenai penderita wanita dan infeksi hanya mengenai mukosa superfisial kandung kemih. Penyebab kuman tersering (90%) adalah E. coli.

b.ISK complicated
Sering menimbulkan banyak masalah karena sering kuman penyebab sulit diberantas, kuman penyebab sering resisten terhadap beberapa macam antibiotik, sering terjadi bakteriemia, sepsis, dan syok. Penyebab kuman pada ISK complicated adalah Pseudomonas, Proteus, dan Klebsiela. ISK complicated terjadi bila terdapat keadaan-keadaan sebagai berikut:
Kelainan abnormal saluran kemih, misalnya batu (pada usia lanjut kemungkinan terjadinya batu lebih besar dari pada usia muda). Refleks vesiko urethral obstruksi, paraplegi, atoni kandung kemih, kateter kandung kemih menetap, serta prostatitis menahun.
Kelainan faal ginjal, baik gagal ginjal akut (GGA) maupun gagal ginjal kronis (GGK).

Bermacam-macam mikroorganisme dapat menyebabkan ISK. Mikroorganisme yang paling sering adalah bakteri aerob. Saluran kemih normal tidak dihuni oleh bakteri atau mikroba lain, karena itu urin dalam ginjal dan buli-buli biasanya steril. Walaupun demikian uretra bagian bawah terutama pada wanita dapat dihuni oleh bakteri yang jumlahnya makin kurang pada bagian yang mendekati kandung kemih. Selain bakteri aerob, ISK juga dapat disebabkan oleh virus, ragi, dan jamur.

Penyebab terbanyak adalah Gram-negatif termasuk bakteri yang biasanya menghuni usus yang kemudian naik ke sistem saluran kemih. Dari Gram-negatif ternyata E.Coli menduduki tempat teratas, yang kemudian diikuti oleh Proteus, Klebsiela, Enterobacter, dan Pseudomonas.

Jenis kokus Gram-positif lebih jarang sebagai penyebab ISK sedangkan entercoccus dan Staphylococcus aureus sering ditemukan pada pasien dengan batu saluran kemih, lelaki usia lanjut dengan hipertrofi prostat atau pada pasien yang menggunakan kateter. Bila ditemukan Staphylococcus aureus dalam urin harus dicurigai adanya infeksi hematogen melalui ginjal. Demikian juga Pseudomonas aeroginosa dapat menginfeksi saluran kemih melalui jalur hematogen dan pada kira-kira 25% pasien demam tifoid dapat diisolasi Salmonella pada urin. Bakteri lain yang dapat menyebabkan ISK melalui jalur hematogen ialah Brusella, Nokardia, Actinomyces dan Mycobacterium tuberculosae.

Virus juga sering ditemukan pada urin tanpa ada gejala ISK akut. Adenovirus tipe 11 dan 12 diduga sebagai penyebab sistitis hemoragik. Sisititis hemoragik dapat juga disebabkan oleh Schistosoma hematobium yang termasuk golongan cacing pipih. Candida merupakan jamur yang paling sering menyebabkan ISK terutama pada pasien dengan kateter, pasien DM atau yang mendapat pengobatan dengan antibiotik spektrum luas. Candida yang paling sering ialah Candida albicans dan Candida tropicalis. Semua jamur sistemik dapat menulari saluran kemih secara hematogen.

Patogenesis

Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran kemih dapat melalui:
Penyebaran endogen yaitu kontak langsung dari tempat infeksi tersebut.
Hematogen
Limfogen
Eksogen sebagai akibat pemakaian alat berupa kateter atau sistiskopi.

Dua jalur utama terjadinya ISK adalah hematogen dan asending, tetapi dari kedua cara ini asendinglah yang paling sering terjadi. Infeksi hematogen kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah atau pasien yang sementara mendapat pengobatan imunosupresif. Infeksi asending dapat terjadi mulai dari kolonisasi uretra dan daerah introitus vagina, masuknya mikroorganisme dalam kandung kemih, multiplikasi bakteri dalam kandung kemih dan pertahanan kandung kemih kemudian naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal.

Gejala Klinis

Gejala klinis ISK tidak khas dan bahkan pada sebagian pasien tanpa gejala. Gejala yang sering ditemukan ialah disuria, polakisuria, dan terdesak kencing yang biasanya terjadi bersamaan. Nyeri suprapubik dan daerah pelvis juga ditemukan. Polakisuria terjadi akibat kandung kemih tidak dapat menampung urin lebih dari 500 ml karena mukosa yang meradang sehingga sering kencing. Stranguria, tenesmus, nokturia, sering juga ditemukan enuresis nokturnal sekunder, prostatismus, nyeri uretra, kolik ureter dan ginjal. Gejala klinis ISK sesuai dengan bagian saluran kemih yang terinfeksi sebagai berikut
Pada ISK bagian bawah, keluhan pasien biasanya berupa rasa sakit atau rasa panas di uretra sewaktu kencing dengan air kemih sedikit-sedikit serta rasa tidak enak di daerah suprapubik.
Pada ISK bagian atas dapat ditemukan gejala sakit kepala, malaise, mual, muntah, demam, menggigil, rasa tidak enak, atau nyeri di pinggang.



Pemeriksaan Laboratorium

1. Urinalisis
a.Leukosuria
Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting terhadap dugaan adalah ISK. Dinyatakan positif bila terdapat > 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sedimen air kemih. Adanya leukosit silinder pada sediment urin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal. Namun adanya leukosuria tidak selalu menyatakan adanya ISK karena dapat pula dijumpai pada inflamasi tanpa infeksi.

b.Hematuria
Dipakai oleh beberapa peneliti sebagai petunjuk adanya ISK, yaitu bila dijumpai 5-10 eritrosit/LPB sedimen urin. Dapat juga disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun oleh sebab lain misalnya urolitiasis, tumor ginjal, atau nekrosis papilaris.

2. Bakteriologis
a.Mikroskopis
Dapat digunakan urin segar tanpa diputar atau tanpa pewarnaan gram. Dinyatakan positif bila dijumpai 1 bakteri /lapangan pandang minyak emersi.
b.Biakan bakteri


Dimaksudkan untuk memastikan diagnosis ISK yaitu bila ditemukan bakteri dalam jumlah bermakna sesuai dengan criteria Cattell, 1996:
Wanita, simtomatik
>102 organisme koliform/ml urin plus piuria, atau
> 105 organisme pathogen apapun/ml urin, atau
Adanya pertumbuhan organisme pathogen apapun pada urin yang diambil dengan cara aspirasi suprapubik
Laki-laki, simtomatik
>103 organisme patogen/ml urin
Pasien asimtomatik
> 105 organisme patogen/ml urin pada 2 contoh urin berurutan.


3. Tes kimiawi
Yang paling sering dipakai ialah tes reduksi griess nitrate. Dasarnya adalah sebagian besar mikroba kecuali enterokoki, mereduksi nitrat bila dijumpai lebih dari 100.000 - 1.000.000 bakteri. Konversi ini dapat dijumpai dengan perubahan warna pada uji tarik. Sensitivitas 90,7% dan spesifisitas 99,1% untuk mendeteksi Gram-negatif. Hasil palsu terjadi bila pasien sebelumnya diet rendah nitrat, diuresis banyak, infeksi oleh enterokoki dan asinetobakter.




4. Tes Plat-Celup (Dip-slide)
Lempeng plastik bertangkai dimana kedua sisi permukaannya dilapisi perbenihan padat khusus dicelupkan ke dalam urin pasien atau dengan digenangi urin. Setelah itu lempeng dimasukkan kembali ke dalam tabung plastik tempat penyimpanan semula, lalu dilakukan pengeraman semalaman pada suhu 37° C. Penentuan jumlah kuman/ml dilakukan dengan membandingkan pola pertumbuhan pada lempeng perbenihan dengan serangkaian gambar yang memperlihatkan keadaan kepadatan koloni yang sesuai dengan jumlah kuman antara 1000 dan 10.000.000 dalam tiap ml urin yang diperiksa. Cara ini mudah dilakukan, murah dan cukup akurat. Tetapi jenis kuman dan kepekaannya tidak dapat diketahui.

5. Pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan lainnya
Pemeriksaan radiologis dimaksudkan untuk mengetahui adanya batu atau kelainan anatomis yang merupakan faktor predisposisi ISK. Dapat berupa pielografi intravena (IVP), ultrasonografi dan CT-scanning.

Diagnosis Banding

Infeksi atau iritasi pada periuretra atau vagina.

Komplikasi

Pielonefritis akut
Eptikemia
Kerusakan ginjal.

Penatalaksanaan

Pasien dianjurkan banyak minum agar diuresis meningkat, diberikan obat yang menyebabkan suasana urin alkali jika terdapat disuria berat dan diberikan antibiotik yang sesuai. Biasanya ditujukan untuk bakteri Gram-negatif dan obat tersebut harus tinggi konsentrasinya dalam urin.

Wanita dengan bakteriuria asimtomatik atau gejala ISK bagian bawah cukup diobati dengan dosis tunggal atau selama 5 hari. Kemudian dilakukan pemeriksaan urin porsi tengah seminggu kemudian, jika masih positif harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Pada pria, kemungkinan terdapat kelainan saluran kemih lebih besar, sehingga sebaiknya diberikan terapi antibiotik selama 5 hari, bukan dosis tunggal dan diadakan pemeriksaan lebih lanjut.

Terdapat 2 jenis ISK rekuren. Yang paling sering adalah kuman baru pada setiap serangan, biasanya pada wanita dengan gejala sistitis akut rekuren atau pasien dengan kelainan anatomi. Pasien diminta banyak minum agar sering berkemih dan dianjurkan untuk minum antibiotik segera setelah berhubungan intim. Pada kasus sulit dapat diberikan profilaksis dosis rendah sebelum tidur setiap malam, misalnya nitrofurantoin, trimetroprim dan sulfametoksazol, biasanya 3-6 bulan.

Jenis kedua adalah dimana infeksi terjadi persisten dengan kuman yang sama. Di luar kemungkinan resistensi kuman ini biasanya merupakan tanda terdapat infeksi seperti batu atau kista. Biasanya dibutuhkan antibiotik jangka panjang.


B.INKONTINENSIA URIN

Inkontinensia urin merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri. Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15–30% usia lanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saat berumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.

Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal proses menua.

Klasifikasi Inkontinensia Urin

Inkontinensia urin diklasifikasikan :
1. Inkontinensia Urin Akut Reversibel

Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya.

Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut.

Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic.

Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat akronim di bawah ini :
D à Delirium
R à Restriksi mobilitas, retensi urin
I à Infeksi, inflamasi, Impaksi
P à Poliuria, pharmasi

2. Inkontinensia Urin Persisten

Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.

Kategori klinis meliputi :
a.Inkontinensia urin stress :
Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.

b.Inkontinensia urin urgensi :
Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai ikontinensia urin tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat.
c.Inkontinensia urin overflow :
Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.

d.Inkontinensia urin fungsional :
Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan unutk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis.
Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai gejala dan gambaran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua komponen.

Evaluasi Inkontinensia Urin

Tujuan evaluasi awal adalah untuk memastikan adanya inkontinensia urin dan mengenali penyebab-penyebab yang bersifat sementara, pasien yang perlu dievaluasi lebih lanjut, dan pasien yang bisa memulai pengobatan tanpa memerlukan uji-uji yang canggih.

Riwayat Penyakit

Riwayat penyakit harus menekankan pada gejala yang muncul secara rinci agar dapat ditentukan tipe inkontinensia, patofisiologi dan faktor-faktor pemicu.

a.Lama dan karakteristik inkontinensia urin
Waktu dan jumlah urin pada saat mengalami inkontinensia urin dan saat kering (kontinen)
Asupan cairan, jenis (kopi, cola, teh) dan jumlahnya.
Gejala lain seperti nokturia, disuria, frekwensi, hematuria dan nyeri.
Kejadian yang menyertai seperti batuk, operasi, diabetes, obat-obatan.
Perubahan fungsi usus besar atau kandung kemih.
Penggunaan Pad atau Modalitas lainnya.

b.Pengobatan inkontinensia urin sebelumnya dan hasilnya
Riwayat medis harus memperhatikan masalah-masalah seperti diabetes, gagal jantung, insufisiensi vena, kanker, masalah neurologis, stroke dan penyakit Parkinson. Termasuk di dalamnya riwayat sistem urogenital seperti pembedahan abdominal dan pelvis, melahirkan, atau infeksi saluran kemih. Evaluasi obat-obatan baik yang dibeli dengan resep maupun dibeli bebas juga penting dilakukan. Beragam obat dikaitkan dengan inkontinensia urin seperti hipnotik sedatif, diuretik, antikolinergik, adrenergik dan calcium channel blocker. Biasanya ada hubungan dengan waktu antara penggunaan obat-obatan dengan awitan inkontinensia urin atau memburuknya inkontinensia yang sudah kronik.
Pemeriksaan Fisik

Tujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin dan membantu menetapkan patofisiologinya. Selain pemeriksaan fisik umum yang selalu harus dilakukan, pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rectum, fungsi neurologis, dan pelvis (pada wanita) sangat diperlukan.

Pemeriksaan abdomen harus mengenali adanya kandung kemih yang penuh, rasa nyeri, massa, atau riwayat pembedahan. Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis harus diidentifikasi ketika memeriksa genitalia. Pemeriksaan rectum terutama dilakukan untuk medapatkan adanya obstipasi atau skibala, dan evaluasi tonus sfingter, sensasi perineal, dan refleks bulbokavernosus. Nodul prostat dapat dikenali pada saat pemeriksaan rectum. Pemeriksaan pelvis mengevaluasi adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi, massa, tonus otot, prolaps pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel. Evaluasi neurologis sebagian diperoleh saat pemeriksaan rectum ketika pemeriksan sensasi perineum, tonus anus, dan refles bulbokavernosus. Pemeriksaan neurologis juga perlu mengevaluasi penyakit-penyakit yang dapat diobati seperti kompresi medula spinalis dan penyakit parkinson. Pemeriksaan fisik seyogyanya juga meliputi pengkajian tehadap status fungsional dan kognitif, memperhatikan apakah pasien menyadari keinginan untuk berkemih dan mengunakan toilet.

Pemeriksaan Pada Inkontinensia Urin

1.Tes diagnostik pada inkontinensia urin
Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia.
Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara :
Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat.
Urinalisis
Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :
Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi.
Tes urodinamik à untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah
Tes tekanan urethra à mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dianmis.
Imaging à tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.

2. Pemeriksaan penunjang
Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.

3. Laboratorium
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.

4. Catatan berkemih (voiding record)
Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respon terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor-faktor yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.
Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih
Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum.
2. Terapi non farmakologi
Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :
Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.
Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).
Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara :
Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali.
Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10 kali.
Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.

3. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.
Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.

4. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita).

5. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpan.
Pampers
Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin.
Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.

Kateter
Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih.
Alat bantu toilet
Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.

C.HIPERTROFI PROSTAT JINAK

Berdasarkan angka otopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologik anatomik. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut di atas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.
Etiologi

Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen, karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan maka efek perubahan juga terjadi secara perlahan-lahan.

Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.

Gambaran klinik

Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi jalan kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi tersebut menetes pada akhir, pancaran miksi menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh.

Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, withdraw ureter, hidronephrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus selalu mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonephritis.

Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur harus diperhatikan konsistensi prostat, adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba.

Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih seteleh miksi. Sisa urin >100 cc dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada hipertrofi prostat.

Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi, disebut uroflowmetri. Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan pancaran menurun antara 6-8 ml/detik, sedang maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang. Kelemahan detrusor dan obstruksi infravesika tidak dapat dibedakan dengan pengukuran pancaran kemih.

Pemeriksaan Pencitraan

Dengan pemeriksaan radiologik seperti foto polos perut dan pielografi intravena dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran kemih, hidronephrosis, atau divertikel kandung kemih. Kalau dibuat foto setelah miksi dapat dilihat sisa urin. Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung pembesaran prostat dapat diperkirakan apabila dasar buli-buli pada gambaran sistogram tampak terangkat atau ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail. Apabila fungsi ginjal buruk sehingga ekskresi ginjal kurang baik atau penderita sudah dipasang kateter menetap, dapat dilakukan sistogram retrograd.

Ultrasonografi dapat dilakukan secara transabdominal atau transrektal (transrectal ultrasonogarphy = TRUS). Selain untuk mengetahui pembesaran prostat pemeriksaan ultrasonografi dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain seperti divertikel, tumor dan batu. Dengan ultrasonografi transrektal dapat diukur besar prostat untuk menentukan jenis terapi yang tepat. Perkiraan besar prostat dapat pula dilakukan dengan ultrasonografi suprapubik.

Pemeriksaan sistografi dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urin ditemukan mikrohematuria. Pemeriksaan ini dapat memberi gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter, atau batu radiolusen di dalam vesika. Selain itu sistoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang urethra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam urethra.

Diagnosa banding

Proses miksi tergantung pada kekuatan kontraksi detrusor, elastisitas leher kandung kemih dengan tonus ototnya, dan resistensi urethra. Setiap kesulitan miksi disebabkan oleh salah satu dari ketiga faktor tersebut. Kelemahan detrusor dapat disebabkan oleh kelainan saraf (kandung kemih neurologik) misalnya pada lesi medula spinalis, neuropati diabetes, bedah radikal yang mengorbankan persarafan di daerah pelvis, penggunaan obat penenang, obat penghambat reseptor ganglion, dan parasimpatolitik. Kekakuan leher vesika disebabkan oleh proses fibrosis, sedangkan resistensi urethra disebabkan oleh pembesaran prostat jinak atau ganas, tumor di leher kandung kemih, batu di urethra, atau striktur urethra. Kelainan tersebut dapat dilihat dengan sistoskopi.


Penanggulangan

Penderita datang ke dokter bila hipertrofi prostat telah memberikan keluhan klinik. Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHO Prostate symptom score). Skor ini berdasarkan jawababan penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi.

Terapi non bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap di bawah 15. Untuk itu dianjurkan dilakukan kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila timbul obstruksi.

Di dalam praktek pembagian besar prostat derajat I-IV digunakan untuk menentukan cara penanganan. Penderita derajat I biasanya belum memerlukan tindakan bedah diberikan pengobatan konservatif misalnya dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti alfazosin, prazosi dan terazosin. Keuntungan obat penghambat adrenoreseptor alfa ialah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hyperplasia prostat sedikitpun. Kekurangannya ialah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.

Derajat II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan. Biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui urethra (transurethral resection = TUR). Kadang derajat II dapat dicoba dengan pengobatan konservatif.

Pada derajat III, reseksi endoskopik dapat dikerjakan oleh pembedah yang cukup berpengalaman. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam, sebaiknya dilakukan pembedahan kemudian prostat dienukleasi dari dalam simpainya.

Pada hipertrofi derajat IV tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistostomi. Setelah itu dilakukan pemeriksan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitif dengan TUR atau pembedahan terbuka.

Penderita yang keadaan umunya tidak memungkinkan untuk dilakukan pembedahan dapat diusahakan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif lain ialah dengan pemberian obat anti androgen yang menekan produksi LH. Kesulitan pengobatan konservatif ini ialah menentukan berapa lama obat harus diberikan dan efek samping obat.

Pengobatan lain yang invasif minimal ialah pemanasan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang pada ujung kateter. Dengan cara ini yang disebut transurethral microwave thermotherapy (TUMT) diperoleh hasil perbaikan kira-kira 75% untuk gejala obyektif.

Pada penanggulangan invasif minimal lain digunakan cahaya laser, yang disebut transurethral ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP) juga diperoleh hasil yang cukup memuaskan.

Urethra di daerah prostat juga dapat didilatasi dengan memakai balon yang dikembangkan di dalamnya (transurethral balloon dilatation = TUBD). TUBD ini biasanya memberi perbaikan yang bersifat sementara.

DAFTAR PUSTAKA

Anderton JL. Basic Nephrology, Gudang Harapan SDN : Malaysia, 1996
Braunwald et.al. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13, volume 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2000
Braunwald et.al. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, edisi 13, volume 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2000
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 3, jil. I, Balai Penerbit FKUI: Jakarta, 2001
Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 17. England Upploten and Lange, 1998
Hanno PM, Wein AJ. Clinical Manual of Urology, second ed.,USA: McGraw-H ill International Editions
Hazzard WR, et al. Principle of Geriatric Medicine and Gerontology, seconded., McGraw-Hill: USA, 1990
R. Boedhi Darmojo, H. Hadimartono. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 1999
Staf Pengajar Bagian PA FKU1. Patologi, Balai Penerbit FKUI : Jakarta, 1998

Yatim, Faisal. Pengobatan Terhadap Penyakit Usia Senja, Andropause dan Kelainan Prostat. Pustaka Populer Obor : Jakarta, 2004

Sjamsuhidajat, R; Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah (Edisi Revisi). Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 1997

CVA

TINJAUAN PUSTAKA

A.Defenisi

Cerebro vascular accident (CVA) atau stroke adalah gangguan suplai oksigen ke sel-sel syaraf yang dapat disebabkan oleh sumbatan atau pecahnya satu atau lebih pembuluh darah yang memperdarahi otak, dan terjadi dengan tiba-tiba. Dapat digolongkan menjadi tiga yaitu: trombosis, emboli, dan perdarahan serebral (Keperawatan P.K. Sint Carolus, 1994). Sedangkan menurut Lynda Juall Carpenito (1995) cedera serebrovaskular atau stroke meliputi awitan tiba-tiba defisit neurologis karena insufiensi suplai darah ke suatu bagian dari otak. Insufiensi suplai darah disebabkan oleh trombus, biasanya sekunder terhadap aterosklerosis, terhadap embolisme berasal dari tempat lain dalam tubuh, atau terhadap ruptur arteri (aneurisma).
Menurut WHO (1989) stroke adalah disfungsi neurologi akut yang disebabkan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah fokal pada otak yang terganggu.
Menurut patologi anatomi stroke dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1.Stroke Haemorhagi
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subarachnoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu. Biasanya kejadianya saat melakukan aktifitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun.
2.Stroke Non Haemorhagi
Dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebral, biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran umumnya baik.
Sedangkan menurut perjalanan penyakit atau stadiumnya stroke terdiri dari:
1.TIA (trans iskemik attack) gangguan neurologis stempat yang terjadi selama beberapa menit sampai beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan hilang dengan spontan dan sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
2.RIND stroke yang proses terjadinya 24-72 jam.
3.Stroke involusi, yaitu stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan neurologis terlihat semakin berat dan bertambah buruk dengan gejala yang belum menetap, proses dapat berjalan lebih dari 72 jam atau beberapa hari.
4.Stroke komplit dimana gangguan neurologi yang timbul sudah menetap atau permanen, sesuai dengan istilahnya stroke komplit dapat diawali oleh serangan TIA berulang.

B.Etiologi
Beberapa keadaan di bawah ini yang dapat menyebabkan stroke antara lain:
1.Trombosis Cerebral
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan kongesti disekitarnya. Trombisis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini akibat penurunan aktifitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi serebral. Tanda dan gejala neurologis seringkali memburuk pada 48 jam setelah trombosis. Keadaan yang dapat menyebabkan trombosis otak antara lain:
a.Arteriosklerosis
Arteriosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah. Manifestasi klinis arteriosklerosis bermacam-macam. Kerusakan dapat terjadi melalui mekanisme berikut:
Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran darah.
Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi trombosis.
Merupakan tempat terbentuknya trombus, kemudian melepaskan kepingan trombus (embolus).
Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian robek dan terjadi perdarahan.
b.Hypercoagulasi pada polysitemia
Darah bertambah kental, peningkatan viskositas , hematokrit meningkat dapat melambatkan aliran darah serebral.
c.Arteritis (Radang pada arteri)

2.Emboli
Abnormalitas pada jantung kiri, seperti endokarditis inefektif, penyakit jantung reumatik, dan infark miokard, serta infeksi pulmunal adalah tempat-tempat di asal emboli. Mungkin saja bahwa pemasangan katup jantung prostetik dapat mencetuskan stroke, karena terdapat peningkatan insiden embolisme setelah prosedur ini. Resiko stroke setelah pemasangan katup jantung dapat dikurangi dengan terapi antikoagulan pascaoperatif. Kegagalan pacu jantung, fibrilasi atrium, dan kardioversi untuk fibrilasi atrium adalah kemungkinan penyebab lain dari emboli serebral dan stroke. Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-cabangnya, yang merusak sirkulasi serebral.

3.Haemoragi
Kebanyakan perdarahan serebral disebabkab oleh pecahnya arteriosklerosis dan hipertensi pembuluh darah. Pecahnya menyebabkan jumlah perdarahan yang banyak, sementara pecahnya vena atau kapiler menyebabkan perdarahan yang lebih sedikit. Tergantung pada lokasi dan luasnya perdarahan dapat terjadi gangguan fungsi yang pemulihanya lambat, atau otak dapat mengalami hernia yang dapat mengakibatkan kematian dalam tiga hari pardarahan pertama. Lokasi perdarahan bisa terjadi di serebral, ekstradural, subdural, subarachnoid, dan intraserebral.
4.Hipoksia Sistemik
a.Hipertensi yang parah
b.Cardiac pulmonary arrest
c.Cardiac output turun akibat aritmmia.

5.Hipoksia Setempat
a.Spasme arteri serebral, yang disertai perdarahan subarachnoid.
b.Vasokonstriksi arteri otak disertai sakit kepala migrain.

C.Patofisiologi

Infark serebral adalah berkurangnya suplai fungsi ke area tertentu di otak. Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme vaskular) atau oleh karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Arterosklerosis sering atau cenderung sebagai faktor penting terhadap otak, trombus dapat berasal dari flak arterosklerosis, atau darah beku pada area yang stenosis, dimana aliran darah akan lambat atau terjadi turbulensi. Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam aliran darah. Trombus dapat mengakibatkan:
1.Iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan.
2.Edema dan kongesti disekitar area.
Area edema ini menyababkan disfungsi yang lebih besar dari pada area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang beberapa hari. Dengan berkurangnya edema, pasien mulai menunjukkan parbaikan, CVA. Karena trombosis biasanya tidak fatal, jika terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan menyababkan perdarahan serebral, jika aneurisama pecah dan ruptur. Perdarahan pada otak lebih disebabkan oleh ruptur arteriosklerosis dan hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intrserebral yang sangat luas akan menyababkan kematian dibandingkan dari keseluruhan penyakit serebro vaskuler. Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia serebral. Perubahan disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk jangka 4-6 menit. Perubahan irreversibel bila anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya cardiac arrest.

A.Manifestasi Klinis
Stroke dapat menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan aliran jumlah darah kolateral (sekunder atau aksesori). Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.
Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Karena neuron motor atas melintas, gangguan kontrol motor pada salah asatu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motor yang paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis, atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda yang lain.
Diawal tahapan stroke, gambaran klinis yang muncul biasanya adalah paralisis dan hilang atau menurunya refleks tendon dalam. Apabila refleks tendon dalan ini muncul kembali (biasanya dalam 48 jam), peningkatan tonus disertai dengan spatisitas (peningkatan tonus otot abnormal) pada ekstremitas yang terkena dapat dilihat .
Kehilangan komunikasi.Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan komunikasi.Stroke adalah penyebab afasia paling umum. Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut:
1.Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.
2.Disfasia atau afasia (bicara defektif atau kehilangan bicara), yang terutama ekspresif atau reseptif.
3.Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti terlihat ketika pasien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
Gangguan persepsi. Persepsi adalah ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Stroke dapat mengakibatkan difungsi persepsi visual, gangguan dalam hubungan visual-spasial dan kehilangan sensori.
Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada pasien dengan hemiplegia kiri. Kehilangan sensori karena stroke dapat berubah kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan kehilangan propiosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.
Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik. Bila kerusakan telah terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas, memori, atau fungsi intelektual, kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Masalah psikologik lain juga umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan, frustasi, demdam, dan kerang kerjasama.
Disfungsi kandung kemih. Setelah stroke pasien mungkin mengalami inkontinensia urianarius sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan menggunakan urinal atau bedpan karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang setelah stroke kandung kemih menjadi atonik, dengan kerusakan sensasi dalanm respon terhadap pengisian kandung kemih.

B.Faktor Resiko Stroke
Dalam upaya pencegahannya maka diperlukan identifikasi karakteristik epidemiologiknya yang dapat merupakan sebagai faktor resiko stroke. Faktor resiko ini menyebabkan orang menjadi lebih rentan atau mudah mengalami stroke. Faktor-faktor resiko yang selama ini telah diidentifikasi dapat berupa hipertensi, diabetes militus, riwayat stroke sebelumnya, obesitas dan kebiasaan merokok. Selain itu, disebutkan juga beberapa faktor yang dicurigai berkaitan dengan stroke seperti alkohol, kontrasepsi hormonal, trauma dan herpes zoster.
Diantara faktor resiko diatas, dapat disebutkan 4 major risk factors dari stroke:
1.Hipertensi
2.Transient Ischemic Attack(TIA)
3.Hipercholesterolemia
4.Diabetes Militus

C.Pemeriksaan Diagnostik
1.Angiografi serebral: membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik. Seperti perdarahan, atau obstruksi arteri, adanya titik oklusi atau ruptur.
2.CT Scan: memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan adanya infark.
3.Pungsi lumbal:menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada trombosis, emboli serebral, dan TIA. Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya hemoragik subaraknoid atau perdarahan intra kranial. Kadar protein total meningkat pada kasus trombosis sehubungan dengan adanya proses inflamasi.
4.MRI: menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik, malformasi arteriovena (MVA).
5.Ultrasonografi Doppler: mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arteri karotis,arteriosklerotik).
6.EEG: mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
7.Sinar X Tengkorak: menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari massa yang meluas.

D.Penatalaksanaan Umum Stroke
1.Untuk mengobati keadaan akut perlu diperhatikan faktor-faktor kritis sebagai berikut
Berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan
a.Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan lendir yang sering, oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi, membantu pernafasan.
b.Mengontrol tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk berusaha memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
2.Rehidrasi yang cukup.
3.Assessment gangguan menelan dan tata cara pemberian nutrisi bila ada gangguan menelan.
4.Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter.
5.Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung.
6.Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat mungkin pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-latihan gerak pasif.
7.Perbaikan adanya komplikasi sistemik.
8. Penanganan daerah Penumbra (jaringan iskemik yang tanpa dilakukan upaya pengobatan akan menjadi infark). Karena daerah ini akan terjadi rantai reaksi metabolic antara lain masuknya ion kalsium dan laktat kedalam cel sehingga terjadi edema cel dan akhirnya necrosis.

Tindakan
Upaya perbaikan status umum (TD, gula darah, hydrasi, keseimbangan cairan asam basa, kardio respirasi)
Anti trombosis (heparin, wafarin) untuk mencegah perluasan infark bila waktu masih dalam ”theurapeutik win-down” (<6 jam).
Perbaikan metabolic sekitar lesi sampai saat ini masih eksperimental.

Tindakan Konsevatif
1. vasodilasator meningkatkan aliran darah serebral (ADS) secara percobaan, tetapi maknanya :pada tubuh manusia belum dapat dibuktikan.
2.Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra arterial.
3.Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat reaksi pelepasan agregasi trombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.

Tindakan Pembedahan
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral :
1.Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis, yaitu dengan membuka arteri karotis di leher.
2.Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan manfaatnya paling dirasakan oleh pasien TIA.
3.Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut.
4.Utasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma.

E.Asuhan keperawatan
1.Pengkajian
Lembar alir neurologik dipertahankan untuk menunjukkan parameter pengkajian keperawatan dibawah ini:
a.Perubahan pada tingkat kesadaran atau responsivitas yang dibuktikan oleh gerakan, menolak terhadap perubahan posisi, dan respon terhadap stimulasi: berorientasi terhadap tempat, waktu, dan orang.
b.Adanya atau tidak adanya gerakan volunter atau involunter ekstremitas: tonus otot; postur tubuh; dan posisi kepala
c.Kekakuan atau flaksiditas leher.
d.Membuka mata, ukuran pupil komparatif dan reaksi pupil terhadap cahaya, dan posisi okular.
e.Warna wajah dan ekstremitas; suhu dan kelembaban kulit.
f.Kualitas dan frekuensi nadi dan pernafasan; gas darah arteri sesuai indikasi, suhu tubuh, dan tekanan arteri.
g.Kemampuan untuk bicara.
h.Volume cairan yang diminum atau diberikan dan volume urin yang dikeluarkan setiap 24 jam.
Ketika pasien mulai sadar, tanda keletihan dan konfusi ekstrem tampak sebagai akibat edema serebral yang mengikuti stroke. Bila terjadi lesi pada hemisfer dominan pasien juga mengalami afasia. Lesi hemisfer non dominan dapat mengakibatkan apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan gerakan yang dipejari sebelumnya).
Setelah fase akut, perawat mengkaji fungsi-fungsi berikut: satus mental (memori, lapang perhatian, persepsi, orientasi, afek, bicara atau bahasa), sensasi atau persepsi(biasanya pasien mengalami penurunan kesadaran terhadap nyeri dan suhu); kontrol motorik (gerakan ekstremitas atas dan bawah); dan fungsi kandung kemih.

2.Diagnosa Keperawatan
a.Penururnan perfusi jaringan otak berhubungan dengan menurunnya supplay darah serebral adanya oklusi otak, perdarahan, vasospasme dan edema otak.
b.Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan tidak sadar atau menurunnya refleks batuk.
c.Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan parestesia, flaciad, paralisis sekunder rusaknya sistem motorik
d.Kerusakan komunikasi verbal atau tulis berhubungan dengan gangguan sirkulasi serebral, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot facial atau oral, kehilangan memori, dan kelemahan secara umum.
e.Defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan mobilitas fisik .
f.Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan mobilitas yang lama.

Jumat, 12 September 2008

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN DIABETES MELITUS

DIABETES MELLITUS

Pengertian
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan Suddarth, 2002).
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).
Klasifikasi
Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut :
Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)
Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)
Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya
Diabetes mellitus gestasional (GDM)
Etiologi
Diabetes tipe I:
Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.
Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.
Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :
Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)
Obesitas
Riwayat keluarga


Tanda dan Gejala
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM lansia umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan adalah :
Katarak
Glaukoma
Retinopati
Gatal seluruh badan
Pruritus Vulvae
Infeksi bakteri kulit
Infeksi jamur di kulit
Dermatopati
Neuropati perifer
Neuropati viseral
Amiotropi
Ulkus Neurotropik
Penyakit ginjal
Penyakit pembuluh darah perifer
Penyakit koroner
Penyakit pembuluh darah otak
Hipertensi
Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut.
Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami infeksi akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia. Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak bermanifestasi sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak.
Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral tampak lebih jelas.
Pemeriksaan Penunjang
Glukosa darah sewaktu
Kadar glukosa darah puasa
Tes toleransi glukosa
Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM
Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa darah sewaktu
Plasma vena
Darah kapiler
Kadar glukosa darah puasa
Plasma vena
Darah kapiler
< 100
<80
<110
<90
100-200
80-200
110-120
90-110
>200
>200
>126
>110
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan :
Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl
Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :
Diet
Latihan
Pemantauan
Terapi (jika diperlukan)
Pendidikan
Pengkajian
Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya
Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
Aktivitas/ Istirahat :
Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.
Sirkulasi
Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi, perubahan tekanan darah
Integritas Ego
Stress, ansietas
Eliminasi
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare
Makanan / Cairan
Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan, haus, penggunaan diuretik.
Neurosensori
Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot, parestesia,gangguan penglihatan.
Nyeri / Kenyamanan
Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)
Pernapasan
Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)
Keamanan
Kulit kering, gatal, ulkus kulit.
Masalah Keperawatan
Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan
Kekurangan volume cairan
Gangguan integritas kulit
Resiko terjadi injury
Intervensi
Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya
Intervensi :
Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.
Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien.
Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi.
Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral.
Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan indikasi.
Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka rangsang, cemas, sakit kepala.
Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.
Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.
Kolaborasi dengan ahli diet.
Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.
Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik
Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul
Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas
Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa
Pantau masukan dan pengeluaran
Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat ditoleransi jantung
Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.
Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB, nadi tidak teratur
Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa dextrosa, pantau pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K)
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik (neuropati perifer).
Tujuan : gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan penyembuhan.
Kriteria Hasil :
Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan dan tidak terinfeksi
Intervensi :
Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema, dan discharge, frekuensi ganti balut.
Kaji tanda vital
Kaji adanya nyeri
Lakukan perawatan luka
Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi.
Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan
Tujuan : pasien tidak mengalami injury
Kriteria Hasil : pasien dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengalami injury
Intervensi :
Hindarkan lantai yang licin.
Gunakan bed yang rendah.
Orientasikan klien dengan ruangan.
Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi
DAFTAR PUSTAKA
Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek Maryunani, Jakarta:EGC, 1997.
Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999.
Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa YasminAsih, Jakarta : EGC, 1997.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.
Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia Lanjut jilid I Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.
Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2002

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN BROKOPNEUMONIA

KONSEP TEORI
BRONKOPNEUMONIA

Definisi
Pneumonia merupakan peradangan perenkim paru-paru yang biasanya berasal dari suatu infeksi.(Price,1995)
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan menimbulkan gangguan pertukaran gas setempat (Zul, 2001)
Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkan pneumonia yang mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi dalam bronki dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya. Pada bronkopneumonia terjadi konsolidasi area berbercak. (Smeltzer,2001).
Perubahan system respirasi yang berhubungan dengan usia yang mempengaruhi kapasitas dan fungsi paru meliputi:
Peningkatan diameter anteroposterior dada.
Kolaps osteoporotik vertebrae yang mengakibatkan kifosis (peningkatan kurvatura konveks tulang belakang).
Kalsifikasi kartilago kosta dan penurunan mobilitas kosta.
Penurunan efisiensi otot pernapasan.
Peningkatan rigiditas paru.
Penurunan luas permukaan alveoli.
Klasifikasi pneumonia
Klasifikasi menurut Zul Dahlan (2001):
Berdasarkan ciri radiologis dan gejala klinis, dibagi atas:
Pneumonia tipikal, bercirikan tanda-tanda pneumonia lobaris dengan opasitas lobus atau lobularis.
Pneumonia atipikal, ditandai gangguan respirasi yang meningkat lambat dengan gambaran infiltrate paru bilateral yang difus.
Berdasarkan faktor lingkungan
Pneumonia komunitas
pneumonia nosokomial
pneumonia rekurens
pneumonia aspirasi
pneumonia pada gangguan imun
pneumonia hipostatik.
Berdasarkan sindrom klinis
Pneumonia bakterial berupa: pneumonia bakterial tipe tipikal yang terutama mengenai parenkim paru dalam bentuk bronkopneumonia dan pneumonia lobar serta pneumonia bakterial tipe campuran atipikal yaitu perjalanan penyakit ringan dan jarang disertai konsolidasi paru.
Pneumonia non bakterial, dikenal pneumonia atipikal yang disebabkan mycoplasma, clamydia pneumoniae atau legionella.
Klasifikasi berdasarkan Reeves (2001):
Community Acquired Pneumonia dimulai sebagai penyakit pernafasan umum dan bisa berkembang menjadi pneumonia. Pneumonia streptococcal merupakan organisme penyebab umum. Tipe pneumonia ini biasanya menimpa kalangan anak-anak atau kalangan orang tua.
Hospital Acquired pneumonia dikenal sebagai pneumonia nosokomial. Organisme seperti ini aeruginisa pseudomonas. Klebsiella atau aureus stapilococcus, merupakan bakteri umum penyebab Hospital Acquired pneumonia
Lobar dan bronkopneumonia dikategorikan berdasarkan lokasi anatomi infeksi. Sekarang ini pneumonia diklasifikasikan menurut organisme, bukan hanya menurut lokasi anatominya saja.
Pneumonia viral, bakterial dan fungi dikategorikan berdasarkan pada agen penyebabnya, kultur sensifitas dilakukan untuk mengidentifikasikan organisme perusak.
Etiologi
Bakteri
Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut. Organsime gram positif seperti: streptococcus pneumonia, s. aureus dan s. pyogenesis. Bakteri gram negative seperti Haemophilus influenza, klebsiella pneumonia dan P.Aeruginosa.
Virus
Disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi droplet. Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyabab utama pneumonia virus.
Jamur
Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung, tanah serta kompos
Protozoa
Menimbulkan terjadinya pneumocystis carinii pneumonia (CPC). Biasanya menjangkiti pasien yang mengalami imunosupresi. (Reeves,2001).
Pathways
TERLAMPIR
Manifestasi klinis
Kesulitan dan sakit pada saat pernapasan.
Nyeri pleuritik, nafas dangkal dan mendengkur, takipnea.
Bunyi nafas di atas area yang mengalami konsolidasi.
Mengecil, kemudian menjadi hilang, krekels, ronki, egofoni.
Gerakan dada tidak simetris
Menggigil dan demam 38,80 C sampai 41,1o C, delirium
Diaforesis
Anoreksia
Malaise
Batuk kental, produktif
Sputum kuning kehijauan kemudian berubah menjadi kemerahan atau berkarat.
Gelisah
Sianosis
Area sirkumoral, dasar kuku kebiruan.
Masalah-masalah psikososial: disorientasi, ansietas, takut mati.
Pemeriksaan penunjang
Sinar X: mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakan abses luas/infilrat, empiema (stapilococcus);infiltrate menyebar atau terlokalisasi (bacterial);atau penyebaran/perluasan infiltrate nodul (virus). Pneumonia mikoplasma sinar X dada mungkin bersih.
GDA: tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat dan penyakit paru yang ada.
Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah: diambil dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakeal, bronkoskopi fiberotik atau biopsy pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab.
JDL: leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadi pada infekksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan berkembangnya pneumonia bakterial.
Pemeriksan serologi; titer virus atau legionella, aglutinin dingin.
LED: meningkat
Pemeriksaan fungsi paru: volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps); tekanan jalan napas mungkin meningkat dan komplain menurun, hipoksemia.elektrolit natrium dan klorida mungkin rendah.
Bilirubin mungkin meningkat.
Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka menyatakan intranuklear tipikal dan keterlibatan sitoplasmik (CMV) (Doenges, 1999).
Penatalaksanaan
Kemoterapi
Pemberian kemoterapi harus berdasarkan petunjuk penemuan kuman penyebab infeksi (hasik kultur sputum dan tes sensitivitas kuman teradap antibodi). Bila penyakitnya ringan antibiotik diberikan secara oral, sedangkan bila berat diberikan secara parenteral. Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal akibat proses penuaan, maka harus diingat kemungkinan penggunaan antibiotik tertentu perlu penyesuaian dosis (Harasawa,1989)
Pengobatan umum
Terapi oksigen
Hidrasi, bila ringan hidrasi oral, tetapi jika berat dehidrasi dilakukan secara parenteral.
Fisioterapi, penderita perlu tirah baring dan posisi penderita perlu diubah-ubah untuk menghindari pneumonia hipografik, kelemahan dan dekubitus.
Pengkajian
Aktivitas/istirahat
Kelemahan, kelelahan, insomnia. Letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas.
Sirkulasi
Riwayat gagal jantung kronis, takikardia, penampilan terlihat pucat.
Integritas ego
Banyak stressor, masalah finansial.
Makanan/cairan
Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, riwayat DM. Distensi abdomen, hiperaktif bunyi usus, kulit kering dengan turgor buruk, penampilan malnutrisi.
Neurosensori
Sakit kepala, perubahan mental.
Nyeri/kenyamanan
Sakit kepala , nyeri dada meningkat dan batuk myalgia.
Pernafasan
Riwayat PPOM, merokok sigaret, takipnea, dispnea, pernafasan dangkal, penggunaan otot aksesori, pelebaran nasal. Sputum berwana merah muda, berkarat atau purulen.
Perkusi: pekak di atas area yang konsolidasi, gesekan friksi pleural. Bunyi nafas: menurun atau tidak ada di atas area yang terlibat atau nafas bronchial. Fremitus: taktil dan vocal meningkat dengan konsolidasi.. Warna: pucat, atau sianosis pada bibir/kuku.
Keamanan
Riwayat gangguan sistem imun, demam. Berkeringat, menggigil berulang, gemetar, kemerahan mungkin pada kasus rubella/varisela.
Penyuluhan
Riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis.
Diagnosa keperawatan
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi trakeobronkial, pembentukan oedema, peningkatanan produksi sputum, nyeri pleuritik, penurunan energi, kelemahan.ditandai dengan perubahan frekuensi kedalaman pernafasan, bunyi nafas tidak normal, penggunaan otot aksesori, dispnea, sianosis, batuk efektif/tidak efektif dengan atau tanpa produksi sputum.
Kriteria hasil: menunjukkan perilaku mencapai kebersihan jalan nafas, menunjukkan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih, tidak ada dispnea atau sianosis.
Intervensi keperawatan:
Kaji frekuensi/ kedalaman pernafasan dan gerakan dada.
Auskultasi paru, catat area penurunan/tidak ada aliran udara dan bunyi nafas tambahan (krakles, mengi)
Bantu pasien untuk batuk efektif dan nafas dalam
Berikan cairan sedikitnya 2500ml/hari.
Kolaborasi:
Bantu mengawasi efek pengobatan nebulizer dan fisioterapi lain.
Berikan obat sesuai indikasi: mukolitik, ekspektoran, bronkodilator, analgesik.
Berikan cairan tambahan
Awasi seri sinar X dada, GDA, Nadi oksimetri.
Bantu bronkoskopi/torakosintesis bila diidikasikan.
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran alveolar-kapiler (efek inflamasi) dan gangguan kapasitas oksigen darah ditandai dengan dispnea, sianosis, taikardia, gelisah,/perubahan mental, hipoksia.
Kriteria hasil:
Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang normal dan tidak ada gejala distress pernapasan
Berpastisipasi pada tindakan untuk memaksimalkan oksigen.
Intervensi keperawatan:
Mandiri:
Kaji frekuensi, kedalaman dan kemudahan bernafas.
Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku.
Kaji status mental.
Awasi status jantung/irama
Awasi suhu tubuh, sesuai indikasi. Bantu tindakan kenyamanan untuk menurunkan demam dan menggigil.
Pertahankan istirahat tidur.
Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi, nafas dalam dan batuk efektif.
Kaji tingkat ansietas.
Dorong menyatakan masalah/perasaan.
Kolaborasi
Berikan terapi oksigen dengan benar.
Awasi GDA
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses inflamasi, penurunan kompliance paru, nyeri ditandai dengan dispnea, takipnea, penggunaan otot aksesori, perubahan kedalaman nafas, GDA abnormal.
Kriteria hasil:
Menunjukkan pola pernafasan normal/efektif dengan GDA dalam rentang normal.
Intervensi keperawatan:
Mandiri:
Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada.
Auskultasi bunyi nafas.
Tinggikan kepala dan bahu.
Obsrvasi pola batuk dan karakter sekret.
Dorong/bantu pasien dalam nafas dalam dan latihan batuk efektif.
Kolaborasi
Berikan oksigen tambahan.
Awasi DGA.
Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan adanya proses infeksi.
Kriteria hasil:
pasien tidak memperlihatkan tanda peningkatan suhu tubuh, tidak menggigil, nadi normal.
Intervensi keperawatan:
Mandiri:
Obsevasi suhu tubuh (4 jam).
Pantau warna kulit.
Lakukan tindakan pendinginan sesuai kebutuhan.
Kolaborasi:
Berikan obat sesuai indikasi:antiseptik
Awasi kultur darah dan kultur sputum, pantau hasilnya setiap hari.
Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan utama dan tidak adekuat pertahanan sekunder (adanya infeksi, penekanan imun).
Kriteria hasil:
Mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tanpa komplikasi.
Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/ menurunkan resiko infeksi.
Intervensi keperawatan:
Pantau TTV.
Anjurkan klien memperhatikan pengeluaran sekret dan melaporkan perubahan warna jumlah dan bau sekret.
Dorong teknik mencuci tangan dengan baik.
Ubah posisi dengan sering.
Batasi pengunjung sesuai indikasi
Lakukan isolasi pencegahan sesuai indikasi.
Dorong keseimbangan istirahat adekuat dengan aktivitas sedang.
Kolaborasi: Berikan antimikrobal sesuai indikasi.
Nyeri berhubungan dengan inflamasi parenkim paru, reaksi seluler terhadap sirkulasi toksin, batuk menetap ditandai dengan nyeri dada, sakit kepala,nyeri sendi, melindungi area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah.
Kriteria hasil:
Menyebabkan nyeri hilang/terkontrol.
Menunjukkan rileks, isirahat/tidur dan peningkatan aktivitas dengan cepat.
Intervensi keperawatan:
Tentukan karakteristik nyeri.
Pantau TTV.
Ajarkan teknik relaksasi.
Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batuk.
Resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi, anoreksia, distensi abdomen.
Kriteria hasil:
Menunjukkan peningkatan nafsu makan.
Berat badan stabil atau meningkat.
Intervensi keperawatan:
Identifikasi faktor yang menimbulkan mual atau muntah.
Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin.
Auskultasi bunyi usus.
Berikan makan porsi kecil dan sering.
Evaluasi status nutrisi.
Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan tindakan berhubungan dengan kurang terpajan informasi, kurang mengingat, kesalahan intrpretasi ditandai dengan permintaan informasi, penyataan kesalahan konsep, kesalahan mengulang.
Kriteria hasil:
Menyatakan pemahaman kondisi proses penyakit dan pengobatan.
Melakukan perubahan pola hidup.
Intervensi keperawatan:
Kaji fungsi normal paru.
Diskusikan aspek ketidakmampuan dari penyakit, lamanya penyembuhan dan harapan kesembuhan.
Berikan dalam bentuk tertulis dan verbal.
Tekankan pentingnya melanjutkan batuk efektif.
Tekankan perlunya melanjutrkan terapi antibiotik selama periode yang dianjurkan.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI

PENGERTIAN
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90 mmHg. Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001)
Menurut WHO ( 1978 ), tekanan darah sama dengan atau diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.
KLASIFIKASI
Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas : ( Darmojo, 1999 )
Hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan / atau tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg
Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.
Secara klinis derajat hipertensi dapat dikelompokkan sesuai dengan rekomendasi dari “The Sixth Report of The Join National Committee, Prevention, Detection and Treatment of High Blood Pressure “ (JNC – VI, 1997) sebagai berikut :
No
Kategori
Sistolik(mmHg)
Diastolik(mmHg)
1.
Optimal
<120
<80
2.
Normal
120 – 129
80 – 84
3.
High Normal
130 – 139
85 – 89
4.
Hipertensi
Grade 1 (ringan)
140 – 159
90 – 99
Grade 2 (sedang)
160 – 179
100 – 109
Grade 3 (berat)
180 – 209
100 – 119
Grade 4 (sangat berat)
>210
>120
Kalsifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi 2 golongan besar yaitu :
Hipertensi essensial ( hipertensi primer ) yaitu hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya
Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang di sebabkan oleh penyakit lain
ETIOLOGI
Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan – perubahan pada :
Elastisitas dinding aorta menurun
Katub jantung menebal dan menjadi kaku
Kemampuan jantung memompa darah menurun
1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
Kehilangan elastisitas pembuluh darah
Hal ini terjadi karenakurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi
Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
Meskipun hipertensi primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data penelitian telah menemukan beberapa faktor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi. Faktor tersebut adalah sebagai berikut :
Faktor keturunan
Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi
Ciri perseorangan
Ciri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah:
Umur ( jika umur bertambah maka TD meningkat )
Jenis kelamin ( laki-laki lebih tinggi dari perempuan )
Ras ( ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih )
Kebiasaan hidup
Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah :
Konsumsi garam yang tinggi ( melebihi dari 30 gr )
Kegemukan atau makan berlebihan
Stress
Merokok
Minum alkohol
Minum obat-obatan ( ephedrine, prednison, epineprin )
Sedangkan penyebab hipertensi sekunder adalah :
Ginjal
Glomerulonefritis
Pielonefritis
Nekrosis tubular akut
Tumor
Vascular
Aterosklerosis
Hiperplasia
Trombosis
Aneurisma
Emboli kolestrol
Vaskulitis
Kelainan endokrin
DM
Hipertiroidisme
Hipotiroidisme
Saraf
Stroke
Ensepalitis
SGB
Obat – obatan
Kontrasepsi oral
Kortikosteroid
PATOFISIOLOGI / PATHWAY
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitiv terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan rennin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi.
Sebagai pertimbangan gerontologis dimana terjadi perubahan structural dan fungsional pada system pembuluh perifer bertanggungjawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup) mengakibatkan penurunan curang jantung dan peningkatan tahanan perifer (Smeltzer, 2001).
Pada usia lanjut perlu diperhatikan kemungkinan adanya “hipertensi palsu” disebabkan kekakuan arteri brachialis sehingga tidak dikompresi oleh cuff sphygmomanometer (Darmojo, 1999).
PATHWAY ( terlampir )
TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi :
Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.
Gejala yang lazim
Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari pertolongan medis.
Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu :
Mengeluh sakit kepala, pusing
Lemas, kelelahan
Sesak nafas
Gelisah
Mual
Muntah
Epistaksis
Kesadaran menurun
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hemoglobin / hematokrit
Untuk mengkaji hubungan dari sel – sel terhadap volume cairan ( viskositas ) dan dapat mengindikasikan factor – factor resiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia.
BUN : memberikan informasi tentang perfusi ginjal
Glukosa
Hiperglikemi ( diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi ) dapat diakibatkan oleh peningkatan katekolamin ( meningkatkan hipertensi )
Kalium serum
Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama ( penyebab ) atau menjadi efek samping terapi diuretik.
Kalsium serum
Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi
Kolesterol dan trigliserid serum
Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk / adanya pembentukan plak ateromatosa ( efek kardiovaskuler )
Pemeriksaan tiroid
Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi
Kadar aldosteron urin/serum
Untuk mengkaji aldosteronisme primer ( penyebab )
Urinalisa
Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau adanya diabetes.
Asam urat
Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi
Steroid urin
Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalisme
IVP
Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit parenkim ginjal, batu ginjal / ureter
Foto dada
Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung
CT scan
Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati
EKG
Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi, peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi
PENATALAKSANAAN
Pengelolaan hipertensi bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi kardiovaskuler yang berhubungan dengan pencapaian dan pemeliharaan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg.
Prinsip pengelolaan penyakit hipertensi meliputi :
Terapi tanpa Obat
Terapi tanpa obat digunakan sebagai tindakan untuk hipertensi ringan dan sebagai tindakan suportif pada hipertensi sedang dan berat. Terapi tanpa obat ini meliputi :
Diet
Diet yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah :
Restriksi garam secara moderat dari 10 gr/hr menjadi 5 gr/hr
Diet rendah kolesterol dan rendah asam lemak jenuh
Penurunan berat badan
Penurunan asupan etanol
Menghentikan merokok
Latihan Fisik
Latihan fisik atau olah raga yang teratur dan terarah yang dianjurkan untuk penderita hipertensi adalah olah raga yang mempunyai empat prinsip yaitu :
Macam olah raga yaitu isotonis dan dinamis seperti lari, jogging, bersepeda, berenang dan lain-lain
Intensitas olah raga yang baik antara 60-80 % dari kapasitas aerobik atau 72-87 % dari denyut nadi maksimal yang disebut zona latihan.
Lamanya latihan berkisar antara 20 – 25 menit berada dalam zona latihan
Frekuensi latihan sebaiknya 3 x perminggu dan paling baik 5 x perminggu
Edukasi Psikologis
Pemberian edukasi psikologis untuk penderita hipertensi meliputi :
Tehnik Biofeedback
Biofeedback adalah suatu tehnik yang dipakai untuk menunjukkan pada subyek tanda-tanda mengenai keadaan tubuh yang secara sadar oleh subyek dianggap tidak normal.
Penerapan biofeedback terutama dipakai untuk mengatasi gangguan somatik seperti nyeri kepala dan migrain, juga untuk gangguan psikologis seperti kecemasan dan ketegangan.
Tehnik relaksasi
Relaksasi adalah suatu prosedur atau tehnik yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan atau kecemasan, dengan cara melatih penderita untuk dapat belajar membuat otot-otot dalam tubuh menjadi rileks
Pendidikan Kesehatan ( Penyuluhan )
Tujuan pendidikan kesehatan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan pasien tentang penyakit hipertensi dan pengelolaannya sehingga pasien dapat mempertahankan hidupnya dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Terapi dengan Obat
Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah saja tetapi juga mengurangi dan mencegah komplikasi akibat hipertensi agar penderita dapat bertambah kuat. Pengobatan hipertensi umumnya perlu dilakukan seumur hidup penderita. Pengobatan standar yang dianjurkan oleh Komite Dokter Ahli Hipertensi ( JOINT NATIONAL COMMITTEE ON DETECTION, EVALUATION AND TREATMENT OF HIGH BLOOD PRESSURE, USA, 1988 ) menyimpulkan bahwa obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium, atau penghambat ACE dapat digunakan sebagai obat tunggal pertama dengan memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang ada pada penderita.
Pengobatannya meliputi :
Step 1
Obat pilihan pertama : diuretika, beta blocker, Ca antagonis, ACE inhibitor
Step 2
Alternatif yang bisa diberikan :
Dosis obat pertama dinaikkan
Diganti jenis lain dari obat pilihan pertama
Ditambah obat ke –2 jenis lain, dapat berupa diuretika , beta blocker, Ca antagonis, Alpa blocker, clonidin, reserphin, vasodilator
Step 3 : Alternatif yang bisa ditempuh
Obat ke-2 diganti
Ditambah obat ke-3 jenis lain
Step 4 : Alternatif pemberian obatnya
Ditambah obat ke-3 dan ke-4
Re-evaluasi dan konsultasi
Follow Up untuk mempertahankan terapi
Untuk mempertahankan terapi jangka panjang memerlukan interaksi dan komunikasi yang baik antara pasien dan petugas kesehatan ( perawat, dokter ) dengan cara pemberian pendidikan kesehatan.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam interaksi pasien dengan petugas kesehatan adalah sebagai berikut :
Setiap kali penderita periksa, penderita diberitahu hasil pengukuran tekanan darahnya
Bicarakan dengan penderita tujuan yang hendak dicapai mengenai tekanan darahnya
Diskusikan dengan penderita bahwa hipertensi tidak dapat sembuh, namun bisa dikendalikan untuk dapat menurunkan morbiditas dan mortilitas
Yakinkan penderita bahwa penderita tidak dapat mengatakan tingginya tekanan darah atas dasar apa yang dirasakannya, tekanan darah hanya dapat diketahui dengan mengukur memakai alat tensimeter
Penderita tidak boleh menghentikan obat tanpa didiskusikan lebih dahulu
Sedapat mungkin tindakan terapi dimasukkan dalam cara hidup penderita
Ikutsertakan keluarga penderita dalam proses terapi
Pada penderita tertentu mungkin menguntungkan bila penderita atau keluarga dapat mengukur tekanan darahnya di rumah
Buatlah sesederhana mungkin pemakaian obat anti hipertensi misal 1 x sehari atau 2 x sehari
Diskusikan dengan penderita tentang obat-obat anti hipertensi, efek samping dan masalah-masalah yang mungkin terjadi
Yakinkan penderita kemungkinan perlunya memodifikasi dosis atau mengganti obat untuk mencapai efek samping minimal dan efektifitas maksimal
Usahakan biaya terapi seminimal mungkin
Untuk penderita yang kurang patuh, usahakan kunjungan lebih sering
Hubungi segera penderita, bila tidak datang pada waktu yang ditentukan.
Melihat pentingnya kepatuhan pasien dalam pengobatan maka sangat diperlukan sekali pengetahuan dan sikap pasien tentang pemahaman dan pelaksanaan pengobatan hipertensi.
PENGKAJIAN
Aktivitas / istirahat
Gejala :
Kelemahan
Letih
Napas pendek
Gaya hidup monoton
Tanda :
Frekuensi jantung meningkat
Perubahan irama jantung
Takipnea
Sirkulasi
Gejala : Riwayat hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner / katup, penyakit serebrovaskuler
Tanda :
Kenaikan TD
Nadi : denyutan jelas
Frekuensi / irama : takikardia, berbagai disritmia
Bunyi jantung : murmur
Distensi vena jugularis
Ekstermitas
Perubahan warna kulit, suhu dingin( vasokontriksi perifer ), pengisian kapiler mungkin lambat
Integritas Ego
Gejala : Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, depresi, euphoria, marah, faktor stress multiple ( hubungsn, keuangan, pekerjaan )
Tanda :
Letupan suasana hati
Gelisah
Penyempitan kontinue perhatian
Tangisan yang meledak
otot muka tegang ( khususnya sekitar mata )
Peningkatan pola bicara
Eliminasi
Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau yang lalu ( infeksi, obstruksi, riwayat penyakit ginjal )
Makanan / Cairan
Gejala :
Makanan yang disukai yang dapat mencakup makanan tinggi garam, lemak dan kolesterol
Mual
Muntah
Riwayat penggunaan diuretik
Tanda :
BB normal atau obesitas
Edema
Kongesti vena
Peningkatan JVP
glikosuria
Neurosensori
Gejala :
Keluhan pusing / pening, sakit kepala
Episode kebas
Kelemahan pada satu sisi tubuh
Gangguan penglihatan ( penglihatan kabur, diplopia )
Episode epistaksis
Tanda :
Perubahan orientasi, pola nafas, isi bicara, afek, proses pikir atau memori ( ingatan )
Respon motorik : penurunan kekuatan genggaman
Perubahan retinal optik
Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala :
nyeri hilang timbul pada tungkai
sakit kepala oksipital berat
nyeri abdomen
Pernapasan
Gejala :
Dispnea yang berkaitan dengan aktivitas
Takipnea
Ortopnea
Dispnea nocturnal proksimal
Batuk dengan atau tanpa sputum
Riwayat merokok
Tanda :
Distress respirasi/ penggunaan otot aksesoris pernapasan
Bunyi napas tambahan ( krekles, mengi )
Sianosis
Keamanan
Gejala : Gangguan koordinasi, cara jalan
Tanda : Episode parestesia unilateral transien
Pembelajaran / Penyuluhan
Gejala :
Factor resiko keluarga ; hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung, DM , penyakit serebrovaskuler, ginjal
Faktor resiko etnik, penggunaan pil KB atau hormon lain
Penggunaan obat / alkohol
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Penurunan curah jantung berhubungan dengan peningkatan afterload, vasokonstriksi, iskemia miokard, hipertropi ventricular
Tujuan :
Tidak terjadi penurunan curah jantung setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam.
Kriteria hasil :
Berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan TD
Mempertahankan TD dalam rentang yang dapat diterima
Memperlihatkan irama dan frekuensi jantung stabil
Intervensi :
Pantau TD, ukur pada kedua tangan, gunakan manset dan tehnik yang tepat
Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer
Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas
Amati warna kulit, kelembaban, suhu dan masa pengisian kapiler
Catat edema umum
Berikan lingkungan tenang, nyaman, kurangi aktivitas, batasi jumlah pengunjung.
Pertahankan pembatasan aktivitas seperti istirahat ditempat tidur/kursi
Bantu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan
Lakukan tindakan yang nyaman spt pijatan punggung dan leher, meninggikan kepala tempat tidur.
Anjurkan tehnik relaksasi, panduan imajinasi, aktivitas pengalihan
Pantau respon terhadap obat untuk mengontrol tekanan darah
Berikan pembatasan cairan dan diit natrium sesuai indikasi
Kolaborasi untuk pemberian obat-obatan sesuai indikasi
Diuretik Tiazid misalnya klorotiazid ( Diuril ), hidroklorotiazid ( esidrix, hidrodiuril ), bendroflumentiazid ( Naturetin )
Diuretic Loop misalnya Furosemid ( Lasix ), asam etakrinic ( Edecrin ), Bumetanic ( Burmex )
Diuretik hemat kalium misalnay spironolakton ( aldactone ), triamterene ( Dyrenium ), amilioride ( midamor )
Inhibitor simpatis misalnya propanolol ( inderal ), metoprolol ( lopressor ), Atenolol ( tenormin ), nadolol ( Corgard ), metildopa ( aldomet ), reserpine ( Serpasil ), klonidin ( catapres )
Vasodilator misalnya minoksidil ( loniten ), hidralasin ( apresolin ), bloker saluran kalsium ( nivedipin, verapamil )
Anti adrenergik misalnya minipres, tetazosin ( hytrin )
Bloker nuron adrenergik misalnya guanadrel ( hyloree ), quanetidin ( Ismelin ), reserpin ( Serpasil )
Inhibitor adrenergik yang bekerja secara sentral misalnya klonidin ( catapres ), guanabenz ( wytension ), metildopa ( aldomet )
Vasodilator kerja langsung misalnya hidralazin ( apresolin ), minoksidil, loniten
Vasodilator oral yang bekerja secara langsung misalnya diazoksid ( hyperstat ), nitroprusid ( nipride, nitropess )
Bloker ganglion misalnya guanetidin ( ismelin ), trimetapan ( arfonad ), ACE inhibitor ( captopril, captoten )
Nyeri ( sakit kepala ) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler serebral
Tujuan :
Nyeri atau sakit kepala hilang atau berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam
Kriteria hasil :
Pasien mengungkapkan tidak adanya sakit kepala
Pasien tampak nyaman
TTV dalam batas normal
Intervensi :
Pertahankan tirah baring, lingkungan yang tenang, sedikit penerangan
Minimalkan gangguan lingkungan dan rangsangan
Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan
Hindari merokok atau menggunkan penggunaan nikotin
Beri tindakan nonfarmakologi untuk menghilangkan sakit kepala seperti kompres dingin pada dahi, pijat punggung dan leher, posisi nyaman, tehnik relaksasi, bimbingan imajinasi dan distraksi
Hilangkan / minimalkan vasokonstriksi yang dapat meningkatkan sakit kepala misalnya mengejan saat BAB, batuk panjang, membungkuk
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi : analgesik, antiansietas (lorazepam, ativan, diazepam, valium )
Resiko perubahan perfusi jaringan: serebral, ginjal, jantung berhubungan dengan adanya tahanan pembuluh darah
Tujuan :
Tidak terjadi perubahan perfusi jaringan : serebral, ginjal, jantung setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam
Kriteria hasil :
Pasien mendemonstrasikan perfusi jaringan yang membaik seperti ditunjukkan dengan : TD dalam batas yang dapat diterima, tidak ada keluhan sakit kepala, pusing, nilai-nilai laboratorium dalam batas normal.
Haluaran urin 30 ml/ menit
Tanda-tanda vital stabil
Intervensi :
Pertahankan tirah baring
Tinggikan kepala tempat tidur
Kaji tekanan darah saat masuk pada kedua lengan; tidur, duduk dengan pemantau tekanan arteri jika tersedia
Ambulasi sesuai kemampuan; hindari kelelahan
Amati adanya hipotensi mendadak
Ukur masukan dan pengeluaran
Pertahankan cairan dan obat-obatan sesuai program
Pantau elektrolit, BUN, kreatinin sesuai program
Intoleransi aktifitas berhubungan penurunan cardiac output
Tujuan :
Tidak terjadi intoleransi aktifitas setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam
Kriteria hasil :
Meningkatkan energi untuk melakukan aktifitas sehari – hari
Menunjukkan penurunan gejala – gejala intoleransi aktifitas
Intervensi :
Berikan dorongan untuk aktifitas / perawatan diri bertahap jika dapat ditoleransi. Berikan bantuan sesuai kebutuhan
Instruksikan pasien tentang penghematan energi
Kaji respon pasien terhadap aktifitas
Monitor adanya diaforesis, pusing
Observasi TTV tiap 4 jam
Berikan jarak waktu pengobatan dan prosedur untuk memungkinkan waktu istirahat yang tidak terganggu, berikan waktu istirahat sepanjang siang atau sore
Gangguan pola tidur berhubungan adanya nyeri kepala
Tujuan :
Tidak terjadi gangguan pola tidur setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam
Kriteria hasil :
Mampu menciptakan pola tidur yang adekuat 6 – 8 jam per hari
Tampak dapat istirahat dengan cukup
TTV dalam batas normal
Intervensi :
Ciptakan suasana lingkungan yang tenang dan nyaman
Beri kesempatan klien untuk istirahat / tidur
Evaluasi tingkat stress
Monitor keluhan nyeri kepala
Lengkapi jadwal tidur secara teratur
Berikan makanan kecil sore hari dan / susu hangat
Lakukan masase punggung
Putarkan musik yang lembut
Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan adanya kelemahan fisik.
Tujuan :
Perawatan diri klien terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam
Kriteria hasil :
Mampu melakukan aktifitas perawatan diri sesuai kemampuan
Dapat mendemonstrasikan tehnik untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
Intervensi :
Kaji kemampuan klien untuk melakukan kebutuhan perawatan diri
Beri pasien waktu untuk mengerjakan tugas
Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukan klien / atas keberhasilannya
Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional sekunder adanya hipertensi yang diderita klien
Tujuan:
Kecemasan hilang atau berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam
Kriteria hasil :
Klien mengatakan sudah tidak cemas lagi / cemas berkurang
Ekspresi wajah rilek
TTV dalam batas normal
Intervensi :
Kaji keefektifan strategi koping dengan mengobservasi perilaku misalnya kemampuan menyatakan perasaan dan perhatian, keinginan berpartisipasi dalam rencana pengobatan
Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, kerusakan konsentrasi, peka rangsang, penurunan toleransi sakit kepala, ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah
Bantu klien untuk mengidentifikasi stressor spesifik dan kemungkinan strategi untuk mengatasinya
Libatkan pasien dalam perencanaan perawatan dan beri dorongan partisipasi maksimum dalam rencana pengobatan
Dorong pasien untuk mengevaluasi prioritas atau tujuan hidup
Kaji tingkat kecemasan klien baik secara verbal maupun non verbal
Observasi TTV tiap 4 jam
Dengarkan dan beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaanya
Berikan support mental pada klien
Anjurkan pada keluarga untuk memberikan dukungan pada klien
Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses penyakit
Tujuan :
Klien terpenuhi dalam informasi tentang hipertensi setelah dilakukan tindakan ekperawatan selama 1 x 24 jam
Kriteria hasil:
Pasien mengungkapkan pengetahuan akan hipertensi
Melaporkan pemakaian obat-obatan sesuai program
Intervensi :
Jelaskan sifat penyakit dan tujuan dari pengobatan dan prosedur
Jelaskan pentingnya lingkungan yang tenang, tidak penuh dengan stress
Diskusikan tentang obat-obatan : nama, dosis, waktu pemberian, tujuan dan efek samping atau efek toksik
Jelaskan perlunya menghindari pemakaian obat bebas tanpa pemeriksaan dokter
Diskusikan gejala kambuhan atau kemajuan penyulit untuk dilaporkan dokter : sakit kepala, pusing, pingsan, mual dan muntah.
Diskusikan pentingnya mempertahankan berat badan stabil
Diskusikan pentingnya menghindari kelelahan dan mengangkat berat
Diskusikan perlunya diet rendah kalori, rendah natrium sesuai program
Jelaskan penetingnya mempertahankan pemasukan cairan yang tepat, jumlah yang diperbolehkan, pembatasan seperti kopi yang mengandung kafein, teh serta alcohol
Jelaskan perlunya menghindari konstipasi dan penahanan
Berikan support mental, konseling dan penyuluhan pada keluarga klien